Minggu, 30 Oktober 2016

Orang Asing

Pernah suatu hari, saya membaca sebuah cerita pendek dari sebuah novel yang tidak saya ingat judulnya apa. Alur ceritanya pun saya tidak ingat, tapi yang paling berkesan bagi saya adalah salah satu scene di cerpen tersebut yang diambil didalam kereta api. Ceritanya saya ringkas kedalam narasi sebagai berikut:

Jam menunjukkan pukul 06:00 malam. Aku menaiki kereta api uap di sebuah stasiun di Inggris sehabis pulang bekerja. Berjalan dan duduk di gerbong kelas menengah. Gerbong ini terdiri dari 2 buah kursi berhadapan di setiap jendelanya. Kemudian aku duduk di kursi nomor 133, tepat berhadapan dengan kursi nomor 134. Duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya yang sedang melihat kerumunan orang dari dalam jendela. Ketika aku duduk, dia menatapku sesaat lalu kembali melihat kerumunan di luar kereta. Wajahnya yang arogan namun menampakkan mata yang sayu seolah dia memiliki suatu masalah saat ini.
Lalu masinis pun mulai mengalunkan tuasnya dan suara uap pun berbunyi diiringi derap roda-roda kereta yang perlahan melaju. Kereta telah melaju dipercepat hingga aku sadar kereta telah menjauhi perkotaan.

"Hey, nak"
"Nak"
"Nak?"

Pria itu memanggilku tiga kali yang tengah melamun melihat pemandangan kilat dari dalam jendela. "Ya?"

"Kemana tujuanmu?"

Aku terdiam.

"Yeah memang kau perlu berhati-hati terhadap orang asing seperti ku. Tapi apakah aku mencirikan seseorang yang amat berbahaya bagimu?"

Sejujurnya, iya. Namun aku hanya mematung tersenyum sambil meminum teh yang kubeli tadi di stasiun.

"Aku akan ke Manchester. Dan kau, pak tua?", tanyaku.

Dia tertawa kecil, "Aku akan ke Stamford."

Dia meminum cangkir yang dipegangnya sedari tadi. Kurasa itu kopi.
"Kopi ini sangat enak. Ini kubeli di kampung halamanku dulu. Kalau kau penasaran bisa saja kau membelinya, namun tempat itu sangat jauh dan itu di Amerika."

"Tidak perlu. Sudah banyak kedai-kedai kopi bahkan di stasiun sekali pun.", kataku.
"Hahaha. Benar, kau benar. Tapi tidak ada yang seenak kopi disana, bagiku" katanya

Yeah, benar. Bagimu.

"Kau tau.", pria itu melanjutkan. "Aku tak tau mengapa kau disini. Dan mengapa aku disini."

Aku menatap pria itu dengan keheranan. "Maksudmu?", tanyaku.

"Mengapa tidak pria yang disana yang duduk dihadapanku disana. Atau, wanita di kelas deluxe itu yang menggodaku dan menciumku. Dan mengapa tidak pemuda diseberangmu yang duduk dihadapanku."

"Karena mereka tidak membeli tiket yang bersamaan denganmu, pak tua." Aku menjawab.

"Haha. Bukan. Bukan itu." Kali ini dia mengambil sebuah whiski dari dalam tasnya.
"Kau mau?" dia menawarkan whiski-nya padaku.

"Aku tak menyukai alkohol." Aku menolak.

"Kenapa? Apa kau terkena penyakit?" Tanyanya polos.

"Tidak, hanya saja aku menjauhi sesuatu yang mendatangkan penyakit, seperti alkohol." Jawabku.

"Hahaha. Berarti Pak Tua ini penyakitan ya maksudmu. Hahaha." Jawab Pak Tua sambil meminum whiski-nya. "Tenang saja. Aku tidak akan mabuk lalu menyakitimu. Aku hanya butuh sedikit sebagai pembukaan."

Pembukaan?
"Aku sedikit curiga kau tidak akan menyakitiku. Aku bisa saja pindah sekarang pak tua." Aku mulai merasa waspada.

"Santai nak. Tidak ada kursi lain di gerbong ini kecuali kau mau berdiri di gerbong kelas rendah. Petugas kereta disini telah mengenaliku jadi kau tak usah takut."

Aku menatapnya tidak percaya.

"Ayolah. Mereka memanggilku dengan Si Pencerita." Jawabnya sambil mengambil pemantik dari sakunya dan menyalakan cerutu tuanya.

Betapa beruntungnya aku, ketika petugas kereta datang melewati kami. Secepat mungkin aku menghampiri petugas tersebut dan menanyakan adakah kursi kosong di gerbong lain. Lalu ia menoleh ke belakangku, dimana aku berlari menghampirinya. Dan ia hanya tertegun dan menyuruhku untuk kembali ke  kursinya seperti semula. "Kau hanya perlu mendengarkan saja ceritanya hingga tiba di stasiun berikutnya. Itu saja cukup." Mendengar pernyataannya tersebut aku sedikit kesal dan kembali ke tempat dudukku kembali dengan wajah masam.

"Sudah kubilang, mereka mengenaliku"

"Okay. Apa yang akan kau ceritakan, Mister Pendongeng?" jawabku ketus

"Well, dulu aku adalah seorang pemuda kaya yang memiliki tambang emas dan batu bara di sebuah desa di Amerika." Dia menghisap dan meletakkan cerutunya di jemarinya. "Aku tidak peduli siapapun dan apapun, yang aku inginkan adalah mencari uang sebanyak mungkin tak pandang bulu."
"Hingga suatu hari aku jatuh cinta."

Ia menatap jendela dengan sangat dalam dan kami pun terdiam. Cukup lama sehingga aku memecah keheningan tersebut dengan sebuah pertanyaan.

"Dengan siapa kau jatuh cinta?" tanyaku memberanikan diri.

"Nah, itu yang aku ingin kau tanyakan."
"Aku mencintai gadis kepala suku dari desa tersebut yang mendiami daerah sekitar tambang milikku."
"Awalnya kami bahagia. Hingga akhirnya dia mengetahui kebenarannya."

"Kebenaran apa?" aku bertanya.

"Dia telah mengetahui siapa diriku." dia menjawab.

"Aku tak mengerti" terangku.

"Kau tahu, nak. Cinta dan kekayaan adalah dua hal yang berbeda yang tidak bisa disatukan. Bila kau menginginkan kekayaan, kau harus melepaskan cinta. Begitupun sebaliknya." Terangnya yang semakin sulit ku pahami apa maksudnya.

"Menurutku, cinta dan kekayaan dapat selaras seiring berjalannya waktu." Jelasku

"Ya, selaras bila kau tidak memiliki dosa terhadap cintamu itu."

"Maka meminta maaflah apabila kau memiliki dosa, Pak Tua!" Jawabku. "Cukup, Mister Pendongeng. Kau benar-benar pandai dalam bercerita hingga aku tak mengerti maksud ceritamu."

"Benar, aku tidak pandai dalam bercerita, tidak pandai dalam berkata, dan tidak pandai dalam mengungkapkan.."

"Aku. Tak kuasa." Air mata mengalir dari pelupuk matanya satu persatu. Air mata yang telah terbendung tersebut mengalir lembut di wajahnya yang arogan. Aku masih terpaku kebingungan, namun entah apa perasaan yang kurasakan saat ini. Aku hanya melihat pak tua menangis di hadapanku seolah dia meminta pengampunan dariku.

"Aku. Aku sangat menyesal." isak Pak Tua.

Dua jam berlalu. Yang ia lakukan hanya menangis terisak sambil meminum whiski-nya sesekali dan berguman kecil tentang si gadis. Ya, dia mabuk. Terkadang ia merokok namun tak ia habiskan dan merokok kembali dengan cerutu baru dan tak ia habiskan kembali. Begitulah yang ia lakukan selama dua jam ini. Tidak ada yang harus aku lakukan kecuali menunggu hingga sampai pada perhentian stasiun berikutnya. Lalu kepala pak tua ini tak bergerak diiringi suara dengkuran dari mulutnya yang bau alkohol.

Dia tertidur.

***

Stasiun telah berhenti pada perhentiannya. Saatnya aku turun menuju tempat yang aku akan tuju. Meninggalkan Pak Tua yang masih tertidur dihadapanku. Lalu aku berlalu tanpa pamit padanya dan keluar gerbong. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal pikiranku tentang Pak Tua. Hingga akhirnya aku memberanikan diri menghampiri petugas kereta tadi yang berada di gerbong kelas rendah.

"Excuse me. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" tanyaku.
"Sure, sir."
"Apakah Pak Tua itu sering seperti itu?" tanyaku lagi.
"Yes, sir. Dia selalu bercerita pada siapapun, yang siap mendengarkannya di gerbong kereta. Berkeluh kesah kepada orang asing yang ia tak kenal dan menangis. Ketika ia terbangun, raut wajahnya akan berubah 180 derajat dari yang kau lihat tadi dan kau mungkin akan merasa takut bila melihat dirinya yang kembali. Kau salah satu orang beruntung bisa melihatnya menangis tersedu-sedu. Hahaha", jawabnya ringan seolah telah mengenalnya sejak lama.

"Kau salah satu orang yang beruntung itukah?" tanyaku iseng.

"Akulah salah satu orang yang paling sial karena aku adalah anaknya." jawabnya enteng.
"Hah?" aku kaget.

Petugas itu hanya menyeringai sambil berlalu menghilang dalam kerumunan penumpang lain di gerbong kelas rendah.

***


I wanna do what old-man do to stranger, yang berkeluh kesah tentang cerita hidupnya pada orang asing yang ia tidak tau kepada siapa ia bercerita begitupun sebaliknya. I think that telling the secret to someone who knows me is the hard thing. Cerita tentang pahitnya apa yang saya jalani sekarang, kemarin, dan nanti, to anyone, orang yang asing bagiku yang tidak pernah mengenal satu sama lain.

"Maybe the stranger would say: how pathetic the woman is"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar