Selasa, 06 Desember 2016

Mimpi dan Logika

" Jika keinginan tidak sesuai dengan kemampuan, maka pilihannya hanya ada satu: dekati keinginan sesuai kemampuan. Karena tidak mungkin kita mencapai keinginan bila kemampuan maksimal pun belum terlampaui. "

Seseorang telah menjawab pertanyaan yang saya ajukan ketika membahas pengembangan kapasitas diri ketika saya menjadi relawan di sebuah yayasan sosial. Jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya bukan sebuah pertanyaan yang asal dan spontan karena sudah lama sekali saya mencari jawaban. Saya teringat ketika masih di sekolah menengah atas, sebuah pelatihan rohani dan motivasi bagi siswa remaja, dan ada satu sesi dimana saya dimotivasi agar memiliki mimpi yang tinggi.

"Tulis mimpimu setinggi-tinggi langit dan dalam beberapa tahun kedepan, percayalah daftar yang kamu buat telah tercapai.

Saya sangat bersemangat. Saya menuliskan mimpi-mimpi keinginan dan khayalan saya di masa depan di sebuah kertas HVS kosong yang dibagikan fasilitator. Dan berharap akan menjadi kenyataan. Sambil mata yang lebam karena menahan tangisan haru (saking ngarepnya), saya mengumpulkan kertas HVS tersebut dan dikembalikan fasilitator. Kala itu, fasilitator memajang mimpi-mimpi kami di depan aula dan keesokan harinya kertas yang berisi 'khayalan' tersebut dicopot dan digantikan dengan mimpi-mimpi siswa yang kebagian sesi kedua. Begitu seterusnya dan pada saat itu saya percaya bahwa 'manusia dapat menembus unlimited dari dirinya'. Saking percayanya saya dengan mimpi.

Namun hal ttersebut sirna ketika saya kecewa dengan 'mimpi yang tidak tercapai'. Sedih, marah, kecewa, tersinggung, iri, rasa bersalah, dan menyalahkan diri sendiri sudah menjadi santapan saya sehari-hari. Saya merenung dan meragukan kevalidan mimpi-mimpi yang telah saya capai sebelumnya. Selama ini saya hanya melakukan target mimpi dan menjalankannya hanya karena daftar saya ingin 'ter-ceklis' di dalam catatan pribadi saya. Bukan karena suatu kebutuhan, tapi dikarenakan keinginan yang terlalu besar.

Titik dimana segala sesuatu yang telah saya capai dianggap tidak terjadi dan pemberontakan merupakan sebuah wujud keputusasaan, sebuah titik 'kritis' terhadap psikis dan mental saya. Sementara lingkungan menggunakan metode komunikasi agresif dan arogan, dimana yang kuat yang menang. (mana ada orang sukses lemah), membuat titik tersebut mengecil diantara titik-titik lainnya. Sebuah titik yang terhimpit oleh titik yang jauh lebih besar dan lebih indah dibanding titik ini. Kondisi itulah penggambaran yang saya alami. Tidak apa, saya butuh itu karena saya bisa seperti sekarang karena kehidupan yang terlewati melalui kalian, bung.

Now as you see me, I'm preparing 'survival equipment' to face up the unknown world, even it's harder or  full of goodness, I'll be more stable away than you know yesterday.

"One equipment that you must bring on your way to get your dreams is logic."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar